Ekosistem Pesisir
Ekosistem Pesisiran |
Pertanyaan yang seringkali muncul
dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas
dari suatu wilayah pesisir (coastal zone). Sampai sekarang
belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat
kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline),
maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu
: batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus
terhadap garis pantai (cross-shore). Untuk keperluan pengelolaan,
penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif
mudah, misalnya batas wilayah pesisir antara Sungai Brantas dan Sungai Bengawan
Solo, atau batas wilayah pesisir Kabupaten Kupang adalah antara Tanjung
Nasikonis dan Pulau Sabu, dan batas wilayah pesisir DKI Jakarta adalah antara
Sungai Dadap di sebelah barat dan Tanjung Karawang di sebelah timur.
Definisi dan batas wilayah pesisir yang
digunakan di Indonesia adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut;
batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak
tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti
pasang-surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti
sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang
dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.
Komponen Fungsional
Ekosistem Pesisir
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa
sumberdaya hayati perairan pesisir yang merupakan satuan kehidupan (organisme
hidup) saling berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan nir-hayatinya
(fisik) membentuk suatu sistem. Dengan demikian, pembahasan selanjutnya dititik
beratkan pada ekosistem pesisir yang merupakan unit fungsional komponen hayati
(biotik) dan nir-hayati (abiotik).
Komponen biotik yang menyusun suatu
ekosistem pesisir terbagi atas empat kelompok utama: (1) produser, (2) konsumer primer, (3) konsumer sekunder dan (4) dekomposer.
Sebagai produser adalah vegetasi autotrof, algae dan fitoplankton
yang menggunakan energi matahari untuk proses fotosintesa yang menghasilkan zat
organik kompleks dari zat anorganik sederhana.
Sebagai konsumer primer adalah
hewan-hewan yang memakan produser, disebut herbivora. Herbivora ini
menghasilkan pula materi organik (pertumbuhan, reproduksi), tapi mereka
tergantung sepenuhnya dari materi organik yang disintesa oleh tumbuhan atau
fitoplankton yang dimakannya.
Sebagai konsumer sekunder adalah karnivora, yaitu semua organisme
yang memakan hewan. Untuk suatu analisis yang lebih jelas, kita dapat membagi
lagi konsumer sekunder ke dalam konsumer tersier yang memakan konsumer
sebelumnya. Sesungguhnya banyak jenis organisme yang tidak dengan mudah dapat
diklasifikasikan ke dalam tingkatan trofik ini, karena mereka dapat dimasukkan
ke dalam beberapa kelompok: konsumer primer dan sekunder (omnivora), konsumer
sekunder dan tersier (predator atau parasit herbivora dan karnivora).
Sebagai dekomposer adalah organisme avertebrata, bakteri dan cendawan
yang memakan materi organik mati: bangkai, daun-daunan yang mati, ekskreta.
Pada prinsipnya terdapat tiga proses dasar
yang menyusun struktur fungsional komponen biotik ini:
1) proses produksi (sintesa materi organik),
2) proses konsomasi (memakan materi organik) dan
3) proses dekomposisi atau mineralisasi (pendaurulangan materi).
Komponen abiotik dari suatu ekosistem
pesisir terbagi atas tiga komponen utama:
[1] unsur dan senyawa anorganik, karbon, nitrogen dan air yang terlibat
dalam siklus materi di suatu ekosistem,
[2] bahan organik, karbohidrat, protein dan lemak yang mengikat komponen
abiotik dan biotik, dan
[3] regim iklim, suhu dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi
kehidupan.
Dari sejumlah besar unsur dan senyawa
anorganik sederhana yang dijumpai di suatu ekosistem pesisir, terdapat
unsur-unsur tertentu yang penting bagi kehidupan. Unsur-unsur tersebut
merupakan substansi biogenik atau unsur
hara baik makro (karbon, nitrogen, fosfor…) maupun mikro (besi, seng,
magnesium…).
Karbohidrat, protein dan lemak yang
menyusun tubuh organisme hidup juga terdapat di lingkungan. Senyawa tersebut
dan ratusan senyawa kompleks lainnya menyusun komponen organik dari kompartimen
abiotik. Bila tubuh organisme hancur, selanjutnya akan terurai menjadi
fragmen-fragmen dengan berbagai ukuran yang secara kolektif disebut detritus
organik. Karena biomassa tanaman lebih besar dibandingkan dengan hewan, maka
detritus tanaman biasanya lebih menonjol dibandingkan dengan hewan. Demikian
pula tanaman biasanya lebih lambat hancur dibandingkan dengan hewan.
Bahan organik terdapat dalam bentuk
terlarut dan partikel. Bila bahan organik terurai, bahan tersebut dinamakan
humus atau zat humik, yaitu suatu bentuk yang resisten terhadap penghancuran
lebih lanjut. Peranan humus dalam ekosistem tidak sepenuhnya dimengerti, tapi
diketahui dengan pasti kontribusinya pada sifat tanah.
Kategori ketiga dari komponen abiotik suatu
ekosistem pesisir adalah faktor-faktor fisik (iklim). Faktor iklim (suhu, curah
hujan, kelembaban) sebagaimana halnya sifat kimiawi air dan tanah serta lapisan
geologi di bawahnya, merupakan penentu keberadaan suatu jenis organisme.
Faktor-faktor ini senantiasa berada dalam satu seri gradien. Kemampuan adaptasi
organisme seringkali berubah secara bertahap sepanjang gradien tersebut, tapi
sering pula terdapat titik perubahan yang berbaur atau zona persimpangan yang
disebut ekoton (misalnya zona intertidal perairan laut).
Dimensi Ekologis
Lingkungan Pesisir
Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai
4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam,
penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan
penyedia jasa-jasa kenyamanan.
Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisir
menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung
maupun tidak langsung, seperti sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (di
antaranya sumberdaya perikanan, terumbu karang dan rumput laut), dan sumberdaya
alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (di antaranya sumberdaya mineral, minyak
bumi dan gas alam). Sebagai penyedia sumberdaya alam yang produktif,
pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang dapat pulih harus dilakukan dengan
tepat agar tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada periode waktu
tertentu. Demikian pula diperlukan kecermatan pemanfaatan sumberdaya perairan
pesisir yang tidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan
sekitarnya.
Disamping sumberdaya alam yang produktif,
ekosistem pesisir merupakan penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, seperti air
bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia.
Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, ekosistem pesisir merupakan lokasi yang
indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau pariwisata.
Ekosistem pesisir juga merupakan tempat
penampung limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Sebagai tempat
penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yang sangat
tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut
melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam
bentuk pencemaran akan terjadi.
Dari keempat fungsi tersebut di atas, kemampuan ekosistem pesisir
sebagai penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia kenyamanan, sangat
tergantung dari dua kemampuan lainnya, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam
dan penampung limbah. Dari sini terlihat bahwa jika dua kemampuan yang disebut
terakhir tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsi ekosistem pesisir
sebagai pendukung kehidupan manusia dan penyedia kenyamanan diharapkan dapat
dipertahankan dan tetap lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar